Masjid –
masjid bersejarah di Indonesia Timur tidak lepas dari sejarah panjang kerajaan
– kerajaan Islam di Maluku Utara yang memegang peranan penting dalam
perdagangan dan penyebaran agama Islam pada abad XII hingga abad XIX. Kerajaan
– kerajaan Islam ini dikenal pula sebagai Moloku Kie Raha, yang artinya empat
raja – raja gunung diatas pulau. Yang terdiri dari Kesultanan Ternate,
Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan.
Sebelum
memeluk Islam, keempatnya telah menjadi "kolano" (setingkat dengan
kerajaan) serta memiliki kedudukan dan peran tersendiri dalam perdagangan jarak
jauh. Kedatangan pengaruh Islam di Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku,
berkaitan dengan jalur pelayaran, khususnya pelayaran niaga, dengan
rempah-rempah sebagai kata kuncinya. Inilah titik di mana pada akhirnya
beberapa aspek juga berpengaruh di kawasan ini: sosial, budaya, agama, bahasa,
ekonomi, bahkan politik dan militer. Terang saja karena para pedagang pada
waktu itu berasal dari berbagai bangsa.
Sejak berubah
dari "kolano" menjadi kesultanan pada sekitar abad XV, keempatnya
secara politis berusaha mengembangkan pengaruhnya ke berbagai tempat, khususnya
ke arah timur dan selatan. Tidore, antara lain dapat memasukkan pantai barat
Papua ke dalam wilayahnya. Ternate berhasil meluaskan pengaruh dan wilayahnya
hingga sebagian Sulawesi, sebagian Papua, Ambon, Lease, Seram, Buru, dan Banda.
Sementara itu, Bacan "gagal" meluaskan pengaruhnya, namun tetap eksis
sebagai kesultanan yang mandiri. Lain halnya dengan Jailolo yang bergabung
dengan Ternate dan Tidore.
Akibat
dinamika politik dan militer dalam perluasan wilayah tersebut, berbuntut pada
retaknya "moloku kie raha." Berbagai perang antara mereka sering
terjadi, termasuk perang dagang. Hal ini diperparah oleh pengaruh Barat,
khususnya Belanda, dengan segala sistem ekonomi dan militernya. Silih berganti
Belanda memihak, dan silih berganti mendapat berbagai keuntungan dari pihak
yang "dibelanya," baik secara politik maupun ekonomi.
Kesultanan
Ternate merupakan kerajaan Islam yang menerapkan demokrasi terpimpin. Kepala
negara tetap seorang Sultan, namun dalam pemerintahan, dipimpin oleh Jogugu,
diistilahkan sebagai Perdana Menteri. Seorang Putra Mahkota tidak harus
merupakan putra sulung Sultan. Berdasarkan kecakapan, kapasitas, dan gaya
kepemimpinan, maka diantara putra – putra Sultan Ternate diseleksi oleh Jogugu
dan Tuan Guru (penasehat spiritual Sultan yang bertindak pula sebagai Imam
Besar Masjid Raya Sultan Ternate) untuk menjadi Putra Mahkota.
Kesultanan Ternate
mengurusi perkara agama yang ditangani oleh Jou Kalim dan para stafnya, yang
disebut juga sebagai Bobato Akhirat. Sedangkan perkara budaya ditangani oleh
Kimalaha dan para stafnya, yang disebut juga sebagai Bobato Dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar